Tanya Jawab: Hukum Asuransi Mobil
Pertanyaan:
Ustadz, saya seorang pemilik rental mobil, dalam membeli mobil saya
mendapatkan asuransi dari mobil tersebut dalam satu paket pembelian. Dan
setelah beberapa bulan kemudian, saya yang diwajibkan membayar asuransi
tiap bulannya. Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah hukum asuransi kendaraan dalam Islam? Apas aja yang tidak boleh dan apa yang diperbolehkan?
2. Dalam kasus ini, karena ini 1 paket dengan pembelian mobil dan
saya sudah terlanjur membayar. Apakah boleh kami mengklaim atau
mengambil uang asuransi jika terjadi insiden kecelakaan mobil?
Jawaban:
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya hingga hari kiamat.
Asuransi dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah At-Ta’min. Di zaman sekarang, asuransi yang beredar di tengah masyarakat itu bentuknya bermacam-macam, di antaranya adalah at-ta’min at-tijari (asuransi bisnis atau asuransi komersial). Asuransi kendaraan berupa mobil atau selainnya termasuk dalam asuransi jenis ini.
Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal
tertentu kepada perusahaan/ lembaga asuransi tiap bulan atau tahun atau
tiap order atau sesuai kesepakatan bersama dengan ketentuan bila terjadi
kerusakan atau musibah, maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh
biaya ganti rugi. Bila tidak terjadi sesuatu maka setoran terus berjalan
dan menjadi milik lembaga asuransi.
Tujuan asuransi jenis ini adalah bisnis murni, karena memang
didirikan dalam rangka mengeruk keuntungan. Ringkasnya, orang yang
terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua kemungkinan:
untung atau rugi.
Hukum asuransi semacam ini dengan seluruh bentuknya adalah haram,
baik asuransi jiwa, harta benda, mobil atau kendaraan lainnya,
perdagangan, rumah, tanah, atau salah satu organ tubuh, baik asuransi
terhadap kebakaran, pencurian maupun kecelakaan. Sebab, semuanya
mengandung riba, perjudian, dan gharar (ketidakjelasan). Pendapat inilah yang merupakan kesepakatan mayoritas ulama di Majlis Al-Majma’ Al-Fiqhi yang diadakan di Makkah Al-Mukarramah dengan keputusan no. 5 tanggal 4 Rabiul Akhir 1397 H. Juga tertera dalam fatwa Darul Ifta’
di Mesir. Termasuk yang berpendapat haramnya asuransi jenis ini juga
adalah Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Pembahasan Ilmiah Kerajaan
Saudi Arabia, dan Rabithah ‘Alam Islami, serta lembaga-lembaga keislaman yang lain, baik di dunia Arab, maupun internasional.
Berikut ini kami sebutkan beberapa argumentasi para ulama yang mengharamkan asuransi bisnis ini:
1. Akad asuransi bisnis termasuk akad jual beli yang bersifat
spekulasi yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Sebab saat akad
berlangsung, orang yang minta asuransi tidak dapat mengetahui jumlah
uang yang harus ia setorkan dan jumlah klaim yang akan ia terima. Bisa
saja ia menyetor sekali atau dua kali setoran, kemudian terjadi
kecelakaan, sehingga ia berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen
perusahaan asuransi. Dan mungkin juga sama sekali tidak pernah terjadi
kecelakaan, sehingga orang yang meminta asuransi membayar seluruh
setoran, tanpa mendapatkan apapun. Demikian juga, perusahaan asuransi
tidak dapat menentukan jumlah klaim yang harus ia bayarkan dan jumlah
setoran yang akan ia terima, bila dicermati dari setiap akad secara
terpisah. Padahal, dalam hadits yang shahih telah disebutkan larangan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas jual beli yang bersifat gharar.
2. Akad asuransi bisnis merupakan salah satu bentuk perjudian.
Sebab, di dalamnya mengandung unsur untung-untungan dalam hal
tukar-menukar harta benda, dan terdapat kerugian tanpa ada kesalahan
atau tindakan apapun, dan padanya juga terdapat keuntungan tanpa ganti
rugi atau dengan ganti rugi yang tidak sepadan. Karena nasabah kadang
kala baru membayarkan beberapa setoran asuransinya, kemudian terjadilah
kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menanggung seluruh biaya yang
menjadi klaimnya. Dan bisa saja tidak terjadi kecelakaan, sehingga saat
itu perusahaan berhasil mengeruk seluruh setoran nasabah tanpa
mengeluarkan ganti rugi sedikitpun. Dan bila akad tersebut nyata
mengandung unsur ketidakjelasan seperti itu, maka itulah yang dinamakan
perjudian, dan masuk dalam keumuman larangan tentang perjudian yang
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, perjudian, berkurban untuk
berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan,
maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
3. Akad asuransi bisnis mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba nasi’ah
(penundaan), karena bila perusahaan asuransi membayar kepada klien,
ahli waris, atau pihak yang mengambil untung darinya dengan mendapatkan
uang lebih banyak dari uang yang ia bayarkan, maka itu adalah riba fadhl.
Dan bila perusahaan asuransi memberikan uang kepada kliennya sejumlah
yang dibayarkannya setelah berlalu tenggang waktu dari saat terjadi
akad, maka itu adalah riba nasi’ah saja. Dan kedua riba tersebut diharamkan menurut dalil syar’i dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4. Akad asuransi bisnis termasuk taruhan yang diharamkan. Sebab,
kedua belah pihak mengandung unsur ketidakpastian, untung-untungan, dan
mengundi nasib. Padahal, syariat tidak membolehkan taruhan, kecuali
demi membela agama Islam dan meninggikan benderanya dengan hujjah dan
senjata. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah membatasi rukhshah (keringanan hukum) taruhan harta hanya pada tiga hal, sebagaimana yang tertera dalam sabda beliau, “Tidak boleh bertaruh dalam perlombaan kecuali dalam (lomba) adu cepat menunggang unta, melempar tombak, dan pacuan kuda.” Sedangkan asuransi tidaklah termasuk hal-hal di atas dan tidak menyerupainya sama sekali. Maka, hukumnya adalah haram.
5. Akad asuransi bisnis mengandung unsur mengambil harta orang
lain tanpa ganti. Sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ganti dalam
akad jual beli termasuk haram. Hal ini terkandung dalam keumuman firman
Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan cara-cara yang
bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di
antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).
6. Pada akad asuransi bisnis terdapat pengharusan sesuatu yang
tidak diwajibkan dalam syariat, karena perusahaan asuransi tidak pernah
melakukan suatu tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab
terjadinya kerugian. Perusahaan asuransi hanyalah melakukan akad bersama
klien untuk menjamin kerugian bila hal itu terjadi, dengan imbalan
setoran yang dibayarkan oleh klien kepadanya, sedangkan perusahaan
asuransi tidak pernah melakukan pekerjaan apapun untuk pihak yang
meminta asuransi. Maka, tindakan ini adalah haram. (Lihat kitab Fiqh wa Fatawa al-Buyu’ hal. 227 dan seterusnya).
Adapun berkaitan dengan orang yang terlanjur terlibat dalam akad asuransi bisnis, maka di sini ada beberapa keadaan:
a. Bila ia tidak tahu hukumnya menurut syariat, maka ia tidak
berdosa, baik ketika ia menyetorkan atau menerima uang ganti rugi dari
perusahaan asuransi tersebut. Namun bila ia telah tahu hukumnya, maka
haram baginya untuk menyetorkan atau menerima uang ganti rugi dari
perusahaan tersebut, karena termasuk dalam katagori tolong menolong
dalam perbuatan dosa dan permusuhan dan memakan harta orang lain dengan
cara yang batil yang dilarang Allah. (lihat QS. Al-Maidah: 2, dan QS.
An-Nisa’: 29).
b. Bila ia telah mengetahui keharamannya, namun ia dipaksa atau
diwajibkan oleh pemerintah dan tidak ada pilihan lain kecuali
melakukannya, maka menurut Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa
yang demikian ini masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh
pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Dan ia
lepas tanggung jawab di hadapan Allah dan tidak berhak mendapat dosa dan
hukuman. (Lihat Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 415).
c. Bila ia telah mengetahui hukumnya haram, dan tetap bermuamalah
dengan perusahaan asuransi tersebut dengan pilihannya sendiri tanpa ada
paksaan, maka ia berdosa dan wajib bertaubat kepada Allah dengan taubat
nasuha. Syaikh Al-Albani berkata, “Adapun asuransi atas pilihan sendiri
yang dia usahakan untuk meraihnya maka tidak boleh (haram) dalam Islam,
karena masuk dalam kategori judi.” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 363)
Dan bila ia telah menerima uang ganti rugi dari pihak perusahaan
asuransi tersebut, maka ia harus mensedekahkan keuntungannya itu kepada
fakir miskin atau menyalurkannya kepada hal-hal yang mengandung
kemaslahatan umum bagi kaum muslimin, dan ia pun wajib keluar atau tidak
boleh bermuamalah dengan perusahaan asuransi tersebut.
Ketika ditanya tentang orang yang terlanjur menyetor atau menerima
uang ganti rugi dari perusahaan asuransi, Komite Tetap untuk Urusan
Fatwa dan Pembahasan Ilmiah Kerajaan Saudi Arabia menyatakan, “Pihak
nasabah boleh mengambil nominal uang yang pernah dia setorkan ke
perusahaan asuransi. Sedangkan sisanya dia sedekahkan kepada fakir
miskin atau dia belanjakan untuk sisi-sisi kemaslahatan lain dan dia
harus keluar dari perusahaan asuransi.”
Syaikh Abdurrahman Al-‘Adni berkata, “Bila para pelaku usaha dan
hartawan dipaksa untuk bermuamalah dengan perusahaan asuransi oleh
pihak-pihak yang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi atau menolak
permintaan, sehingga mereka menyetor dan bermuamalah dengan perusahaan
tersebut, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang memaksa. Namun ketika
terjadi musibah mereka tidak boleh menerima, kecuali nominal yang telah
mereka setorkan.”
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Jika benar maka itu
datangnya dari Allah semata. Dan bila ada kekeliruan maka itu dari diri
kami pribadi dan dari syetan.Wallahu A’lam bish-Shawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Wasitho, Lc (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda :