Rabu, 07 November 2012

Konsultasi Wanita (2)

Adzab Kubur Penghapus Dosa ?

Jumat, 10 Agustus 2007 00:49:24 WIB

Terkait dengan adzab kubur, manusia terbagi menjadi tiga kelompok : Pertama, orang yang selamat dari adzab kubur, yaitu orang Mukmin yang menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya. Allah Azza wa Jalla berfirman : "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". Mereka akan diberi kemudahan dalam menjawab pertanyaan malaikat. Kuburan mereka akan diterangi dan mereka akan diperlihatkan surga dan tempat tinggal mereka di surga, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang shahîh. Kedua: Adzab kubur bagi orang kafir atau orang yang musyrik adalah selamanya dan ia akan kekal di neraka. Mereka selamanya tidak akan mendapat pengampunan dan pertolongan. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras." Allah Azza wa Jalla juga berfirman: Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong".

 

Orang Gila Meninggal, Apakah Dishalatkan ?

Rabu, 1 Agustus 2007 13:44:23 WIB

Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar menyhalati setiap muslim yang wafat, tanpa pandang bulu. Selama statusnya masih muslim, maka kaum muslim memiliki kewajiban untuk menyhalatkannya. Berdasarkan ini, maka orang gila, meskipun dia tidak terkena beban kewajiban, kalau sebelum gilanya, dia adalah seorang muslim, maka kaum muslimin berkewajiban mengurusi jenazahnya sebagaimana muslim lainnya, dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Sedangkan mengenai hukum menyhalati orang yang meninggalkan shalat sampai meninggal dunia, maka ini sangat terkait dengan status si mayit, apakah dia sudah dinyatakan kafir atau tidak ? Pendapat yang kuat diantara pendapat-pendapatt para ulama tentang hukum orang yang meninggalkan shalat yaitu dia telah kafir, keluar dari Islam. Dengan demikian, kita tidak wajib menyhalatinya. Dari 'Abdullâh bin Buraidah dari bapak-Nya, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ikatan antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya, maka dia telah kafir". Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu , ia berkata aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat".

 

Bila Orang Tua Berbuat Maksiat, Apa Yang Harus Dilakukan Anak?

Selasa, 24 Juli 2007 00:53:04 WIB

Allâh Azza wa Jalla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Sebagai contoh, kegelisahan mendalam yang beliau rasakan karena sang bapak (Azar), masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung. Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam. Allah Ta'ala telah berfirman (mengisahkan) di beberapa surat di dalam al-Qur‘ân bagaimana besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua. Yang menarik dan mesti ditiru oleh seorang anak saat menghadapi perbuatan maksiat orang tua mereka adalah Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah ayat 114. Allâh Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun". Beliau 'alaihissalam mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku (tuhan-tuhanku), hai Ibrâhîm. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Namun Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam menyikapinya dengan berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”.

 

Polemik Kawin Sirri

Kamis, 11 Januari 2007 00:43:29 WIB

Nikah sirri ialah pernikahan yang ditutup-tutupi. Ia berasal dari kata as-sirru yang bermakna rahasia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "...Dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia". Pernikahan sirri juga didefinisikan sebagai pernikahan yang diwasiatkan untuk disembunyikan, tidak diumumkan. Oleh karena itu, kawin sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dan ditutupi, serta tidak disebarluaskan. Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua. Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan tersebut. Menurut pandangan seluruh ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil. Lantaran tidak memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini bahkan termasuk nikah sifâh (perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân (menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas nafsu) sebagaimana disinggung dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "... Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya"

 

Suami Melalaikan Tugas, Hidup Bergantung Pada Istri

Jumat, 26 Agustus 2005 11:30:31 WIB

Kami ikut prihatin, karena perilaku seperti itu memang tidak selaras dengan ajaran Islam yang hanif, yang menjunjung tinggi keadilan. Apalagi dalam persoalan memberi nafkah kepada keluarga. Masalah ini sudah sangat jelas menjadi tanggung jawab kaum lelaki, dalam hal ini suami atau ayah. Bukan saja hanya dalam tinjauan Islam, akan tetapi, secara akal sehat dan norma yang berkembang di masyarakat pun mendudukkan suami atau ayah sebagai kepala keluarga. Dialah yang paling bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Ulama fikih sepakat, memberikan nafkah untuk istri adalah wajib dilihat dari sisi hukum. Begitulah yang terjadi dengan adanya akad nikah, telah menetapkan hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami. Oleh sebab itu, nafkah merupakan kewajiban bagi suami untuk memenuhinya, meskipun istrinya merupakan orang kaya, baik muslimah atau bukan. Sebab perkara yang mewajibkannya adalah perkawinan yang sah, dan hal ini merupakan perkara yang sudah jelas. Landasan kewajiban ini adalah nash Al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’, dan dalil akal. Banyak pula ayat Al-Qur`an yang telah menetapkan, bahwa kewajiban memberi nafkah keluarga itu berada di atas pundak seorang suami atau ayah, dan bukan orang lain.

 

Berdakwah Kepada Suami

Kamis, 25 Agustus 2005 10:45:30 WIB

Pada awal menikah, kami berdua merupakan kader sebuah partai. Dengan berjalannya waktu, Alhamdulillah, saya bisa meninggalkan keaktifan di partai tersebut. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan terbaik bagi saya, sehingga saya mulai mempelajari, melakukan dan mengamalkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia ini. Dua tahun belakangan ini, semenjak saya aktif mengaji dengan teman-teman salafiyyin, saya sering berdebat dengan suami, yang pada akhirnya saya selalu menangis. Saya merasa, apakah saya mempunyai kewajiban untuk mengajak atau mengingatkan suami sehingga dapat menempuh satu jalan dengan saya? Setiap ada kegiatan partai yang katanya untuk “dakwah”, suami selalu ingin ikut, tetapi saya larang. Suami saya memegang kuat prinsipnya, bahwa partai itu sarana, jalan untuk menuju pemerintahan yang Islami. Dalil dan hujjah sudah saya jelaskan. Buku-buku tentang politik dan demokrasi sudah saya berikan, tetapi nyatanya, suami hanya bilang “apa yang dapat diperbuat salafiyyun kalau tak ada partai dakwah ini?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda :