Rabu, 07 November 2012

Kategori : Adab dan Perilaku (1)

Pasal Pertama : Dalil-Dalil dari as-Sunnah Yang Menunjukkan Akan Kedatangan al-Mahdi

Sabtu, 3 Nopember 2012 05:59:56 WIB

Dan Allah memenuhi hati umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan (rasa puas), meliputi mereka dengan keadilannya, sehingga dia memerintah seorang penyeru, maka penyeru itu berkata, ‘Siapakah yang memerlukan harta?’ Lalu tidak seorang pun berdiri kecuali satu orang. Dia (al-Mahdi) berkata, ‘Temuilah penjaga (gudang harta) dan katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkan mu untuk memberikan harta kepadaku.’ Kemudian dia (penjaga) berkata kepadanya, ‘Ambillah sedikit!’ Sehingga ketika dia telah menyimpan di pangkuannya dan menampak-kannya, dia menyesal dan berkata, ‘Aku adalah umat Muhammad yang jiwanya paling rakus, atau aku tidak mampu mencapai apa yang mereka capai?’” Beliau berkata, “Lalu dia mengembalikannya dan harta itu tidak diterima, maka para penjaga gudang harta berkata padanya, ‘Sesungguhnya kami tidak menerima apa-apa yang telah kami berikan.’ Demikian-lah yang akan terus terjadi selama tujuh tahun atau delapan tahun atau sembilan tahun, kemudian tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah itu.” Atau beliau berkata, “Kemudian tidak ada lagi hidup yang baik se-telahnya.

 

Anjuran Bersuci, Berdzikir, Sedekah, Dan Sabar

Jumat, 19 Oktober 2012 23:46:38 WIB

Jadi, wudhu' adalah sebagian dari iman, dan dikatakan juga bahwa wudhu' adalah sebagian dari shalat karena shalat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan syarat wudhu' dilakukan dengan sempurna dan baik. Oleh karena itulah, wudhu' menjadi separuh shalat dalam konteks ini, sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidaklah seorang muslim bersuci kemudian menyempurnakan bersuci yang diwajibkan kepadanya, kemudian mengerjakan shalat lima waktu ini, melainkan shalat-shalat tersebut menjadi penghapus (kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut.” Dalam riwayat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu' seperti yang diperintahkan Allah Azza wa Jallakepadanya, maka shalat-shalat wajib adalah penghapus (kesalahan) di antara shalat-shalat tersebut.” Shalat juga merupakan kunci surga dan wudhu' adalah kunci shalat. Masing-masing dari shalat dan wudhu' adalah sebab dibukakannya pintu surga, sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu yang mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim berwudhu' dan memperbaiki wudhu'nya kemudian mengerjakan shalat dua raka’at dengan mengarahkan hati dan wajahnya di kedua raka’at tersebut, melainkan surga menjadi wajib baginya.”

 

Bicara Tanpa Pahala

Senin, 10 September 2012 23:21:33 WIB

Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya di antara kamu. Dan sesungguhnya orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah ats-tsartsârûn, al-mutasyaddiqûn, dan al-mutafaihiqûn. Para sahabat berkata: “Wahai Rsulullah, kami telah mengetahui al-tsartsârûn dan al-mutasyaddiqûn, tetapi apakah al-mutafaihiqûn? Beliau menjawab: “Orang-orang yang sombong”. Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, ”ats-Tsartsâr adalah orang yang banyak bicara, sedangkan al-mutasyaddiq adalah orang yang biasa mengganggu orang lain dengan perkataan dan berbicara jorok kepada mereka”. Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan dalam kitab an-Nihâyah : “ats-Tsartsârûn adalah orang-orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri dan keluar dari kebenaran. al-Mutasyaddiqûn adalah orang-orang yang berbicara panjang lebar tanpa hati-hati.. Ada juga yang mengatakan, al-mutasyaddiq adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan mencibirkan bibir kearah mereka”. Imam al-Mundziri rahimahullah mengatakan dalam at-Targhîb : “ats-Tsartsâr adalah orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri.

 

Bercanda Menurut Pandangan Islam

Kamis, 30 Juni 2011 23:39:14 WIB

Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh". Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain". Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh. Berdusta saat bercanda. Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang memperbaiki akhlaknya".

 

Canda Di Panggung Hiburan

Rabu, 29 Juni 2011 22:42:27 WIB

Dunia kesenian dan panggung hiburan zaman sekarang sangat bervariasi. Mulai dari tayangan sinetron religi, pentas dangdut, konser nasyid marawis, pertunjukan ketoprak, film komedi, festival gambus hingga manggungnya para pelawak. Semuanya bertujuan untuk menghibur para pemirsa atau penonton yang sedang mengalami letih batin, capek pikiran dan lelah badan. Bahkan maraknya tayangan entertainment (pertunjukan) di layar televise bertujuan menghibur para pemirsa, akhirnya para ustadz setengah artis dengan tampilan nyentrik dan ganteng, ikut ambil bagian. Ironisnya, muatan hiburan jarang ditakar dengan norma Islam, hingga hiburan yang disebut islamipun banyak yang melenceng dari aturan agama, bahkan lebih cenderung bebas dan bias, jauh dari kendali syariat. Apalagi kepentingan materi menjadi dominan, target keuntungan menjadi pertimbangan utama, dan kepuasan penonton sebagai prioritas. Sehingga bisa dipastikan, hiburan jenis apapun tidak sepi dari kebatilan dan kemungkaran. Sementara penonton, rata-rata tertarik dengan segala yang berbau syahwat, semua yang bersifat hura-hura, dan tayangan beraroma pornografi. Selingan hidup untuk mengusir bosan dan capek dengan canda dan tawa merupakan sifat bawaan manusia, sebagai bumbu pergaulan dan garam kehidupan, karena semua orang kurang betah dengan suasana tegang dan hidup tanpa sisipan humor.

 

Bertetangga Yang Sehat Dan Kiat Menghadapi Tetangga Jahat

Selasa, 10 Mei 2011 22:33:23 WIB

Berkaitan tentang cakupan makna berbuat ihsan kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan, misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?". Beliau menjawab. "Kepada tetangga yang lebih dekat pintu rumahnya denganmu". Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (bab hak tetangga yang terdekat pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini". Lebih lanjut, Syaikh Nazhim memaparkan,"Tetangga memiliki beberapa kriteria tingkatan: Yang pertama, tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan, ia memiliki 3 hak sekaligus, yaitu hak bertetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Yang kedua, tetangga muslim (yang tidak memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki 2 hak, yaitu hak bertetangga dan hak Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda :